
Oleh: Ridwan Sihombing
Kebenaran berdasarkan legal formal dan positivisme hukum yaitu berdasarkan bukti fakta empiris, kenyataan yang benar-benar nyata secara penglihatan inderawi, bukti yg kuat dan bukti yang langsung terkait fakta di lapangan.
Kelemahan prosedur positivisme hukum tersebut digugat oleh Economic Analysis of Law dan Feminist Jurisprudence.
Economic Analysis of Law menjelaskan bahwa pelaku kejahatan adalah makhluk paling rasional dengan perhitungan rasio ekonomi (homo economicus). Pelaku kejahatan memperhitungkan piliham rasional (rational choice theory) yaitu melakukan kejahatan dengan menghilangkan barang bukti.
Kejahatan seksual adalah kejahatan yg cukup rasional dilakukan pelakunya dengan cara rasional yaitu menghilangkan barang bukti. Beban pembuktian pun terkadang cukup sulit. Sulitnya menghadirkan bukti empiris karena ini persoalan yg sangat sensitif dan membutuhkan empati yg tinggi terhadap korban.
Berbeda dengan kejahatan korupsi dimana pelakunya sangat cerdas dan intelektual namun barang bukti yg didapat mudah yaitu alat sadapan telepon, bukti percakapan dan transaksi hitam diatas putih.
Prinsip pembuktian hukum pidana juga sudah bermasalah sejak awal yaitu “unus testis nullus testis”.
Arti aslinya agak kasar sebenarnya. Diartikan saja secara halus yaitu hanya yang mereka, yang tergolong kaum lelaki yang boleh bersaksi di persidangan.
Perhatikan kata testis. Dalam ilmu biologi pasti paham kata yang dimaksud, akhirnya berkembang menjadi kata testimoni yaitu kesaksian.
Dalam Fakultas Hukum diperhalus menjadi “satu saksi bukan saksi”
Jadi dari awalnya Ilmu Hukum sudah cenderung beroerientasi patriarkhis. Bagaimana mengukur beban pembuktian secara positivisme hukum terkait kasus kejahatan seksual yang kadang mirisnya korban malah disalahkan juga (second viktimitation).
Femimist Legal Theory dan Feminist Jurisprudemce hadir sebagai perspektif untuk memperhalus positivisme hukum setidaknya agar supaya memiliki kepekaan terhadap cara berpikir dan logika feminisme.
Positivisme hukum itu kental sekali dengan fakta logika, fakta empiris, narasi empiris dan narasi positivisme. Maka itu perlu sekali melebarkan perspektif dengan memahami narasi metafora, narasi afeksi dan narasi puitik.
Feminist Legal Theory dan Feminist Jurisprudence kalau dijelaskan secara sederhana begini bunyinya : perempuan sejak dia lahir dan bahkan sampai dia melahirkan seorang manusia, didalam pundaknya dia sudah menggendong ketidakadilan.
Ketika bahasa empiris dan bahasa rasionalitas sulit menyadarkan kita, maka cara terampuh terakhir menyadarkan kita yaitu lewat bahasa metafora, bahasa afeksi dan bahasa puitis.
Benar kan lirik sebuah lagu yaitu “karena wanita ingin dimengerti”
Dan bahasa tangisan ibu adalah bahasa yang sulit terkatakan. Itu bahasa yang universal dimana kata-kata rasional sulit menjelaskan sehingga hanya bisa diungkapkan lewat tangisan.(**)
(P,rs/wer)