
Syaiful Bahri Ruray
“Persahabatan itu bukan terletak pada pertemuan, bukan pada manisnya ucapan bibir, tapi terletak pada ingatan seseorang terhadap teman dalam doanya” (Imam Al-Ghazali)
Prolog.
Perjalanan dan sejarah sebuah peradaban tidak dapat lepas dari kontribusi intelektualitas yang tumbuh dalam masyarakat dimana peradaban tersebut berkembang. Dapat dikatakan bahwa peradaban menjadi lemah eksistensinya ketika kontribusi intelektual dalam sebuah masyarakat itu berkurang atau tidak menjadi tradisi. Kontribusi kecendikiawanan kaum intelektual dalam suatu masyarakat akan berbanding paralel dengan dengan kemajuan peradaban masyarakat itu sendiri. Masyarakat otoritarian, misalnya, tak memberi banyak ruang kebebasan bagi gerak dan jelajah kaum intelektual karena objektifitas persepsional kaum cendikiawan sering berhadapan dengan kepentingan kekuasaan yang cenderung otoritarian tersebut. Masyarakat demokratis, sebaliknya, memberi ruang yang leluasa bagi kiprak kecendikiawanan kaum intelektual dalam mengemukakan pikiran-pikirannya. Sebuah peradaban dalam sejarah akan semakin baik ketika kekuasaan memberikan ruang yang cukup bagi intelektual. Sejarah peradaban Islam, sebutlah Abbasiyah dan Umayyad, mencapai puncak peradaban karena peranan cendikiawannya sangat luar biasa. Mereka menjadi medium peradaban modernisme yang kita kenal sekarang, setelah cendikiawan era Ummayad menerjemahkan berbagai pikiran-pikiran besar era Yunani. Dari mereka pula, dunia Eropa memperoleh inspirasi untuk keluar dari the age of darkness (abad kegelapan) menuju era renaissance (aufklarung). Peradaban besar itu kemudian menjadi runtuh, ketika peranan kecendikiawanan kaum intelektualnya mulai dibatasi, bahkan dilarang. Dinasti Umayyad melarang terbitnya buku-buku bahkan membakarnya. Moses bin Maimoon (Maimonides), seorang teolog monotheis Yahudi, yang sangat tersohor, bukunya dilarang berdedar di Andalusia. Sedangkan Abbasiyah jatuh ke tangan Pasukan Mongol dibawah Gulaghu Khan, yang membakar ribuan buku-buku, membuat Sungai Eufrat dan Tigris menjadi kecokelatan karena debu dari buku-buku yang terbakar tersebut. Hal serupa disaksikan dalam Perang Modern seperti pada kasus Perang Balkan dan hancurnya Yugoslavia yang diawali dengan pasukan Serbia yang membakar perpustakaan pusat Boznia Herzegovina. Dua juta dokumen dan buku peninggalan kekaisaran Ottoman dan Dinasti Austro-Hongarian, hangus terbakar. Yugoslavia pun pecah berkeping-keping menjadi negara berbasis etnis. Peradabannya sebagai sebuah nation state ludes ditelan sejarah kini. Tentu saja masih banyak catatan sejarah yang dapat kita jadikan contoh menarik sebagai pembelajaran bagi peradaban dan kemanusiaan.
Dengan kata lain, tugas cendikiawan sesungguhnya adalah tugas memajukan peradaban suatu masyarakat, agar masyarakat tersebut menjadi tercerahkan dalam kehidupannya. Tidaklah mengherankan jika cendikiawan dalam Islam, memperoleh derajat (posisi) yang sedemikian mulia–mendekati para nabi. Bahkan setetes tinta cendikiawan lebih berharga dari seribu tetes darah mereka yang gugur dalam perang. Nah, jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, Indonesia masih kekurangan cendikiawan. Indonesia masih tergolong sebagai konsumer dalam kecendikiawanan, bukan produsen, mengutip ungkapan Nurcholish Madjid. Dalam konteks inilah saya melihat kiprah Abdul Rahman Marasabessy (selanjutnya saya sebut dengan Abang Man, sebagaimana beliau sering dipanggil), menapaki jejak-jejaknya dalam kehidupannya hingga akhir hayat.
Abang Man dan Gam Madihutu
Saya selalu memanggilnya dengan sebutan Abang Man, panggilan saya terhadap Prof. Dr. Abdul Rahman Marasabessy. Sejak beliau melakukan dakwah dan syiar Islam di persada Maluku Utara, Abang Man yang melakukan perjalanan dan safari dakwahnya ke Sula sering bersentuhan dengan ayah saya. Sejak era 1980-an, Abang Man telah menjelajahi seluruh pelosok Maluku Utara untuk syiar. Dalam kesehariannya, Abang Man adalah sosok ilmuan yang bersahaja, tidak pelit ilmu. Karena dimana saja kita bertemu, ia selalu mengawali dengan senyuman khasnya dan melayani setiap pembicaraan tentang soal-soal keagamaan bahkan politik. Tidaklah mengherankan karena sejak mahasiswa Abang Man adalah aktivis kampus di IAIN Alauddin Makassar. Puncak-puncak aktifnya sebagai mahasiswa adalah saat dimana isu azas tunggal pada era 1980-an tersebut. Botolempangan sebagai markas HMI, dimana Abang Man berkiprah, menjadi sasaran politik kekuasaan yang sangat menarik untuk dikaji karena sejarah tarik menarik dan perang argumentasi atas ideologi Pancasila dan kedudukan agama, khususnya Islam, dalam konteks bernegara. Saya kira pengalaman tersebut turut membentuk visi politik Abang Man kelak, di mana ia berdiri sebagai cendikiawan dalam memperjuangkan peradaban bagi keindonesiaan kelak. Bahwa Indonesia, sebagai sebuah nation state, telah memiliki Pancasila sebagai kalimatun syawa’ (common platform) yang merupakan kontribusi besar perjuangan umat Islam, para the founding fathers, yang harus dipelihara sebagai sebuah legacy yang memperkuat eksistensi keindonesia nation state kita. Kita tahu bahwa dalam sejarah perjalanan bangsa, memang banyak jalan terjal, ketika separatisme dan ideologi non Pancasila, turut berupaya merobek-robek keindonesiaan kita. Sebut saja komunisme, sejak 1926 dan 1927, telah bergerak dengan revolusi berdarahnya di Silungkang dan Banten, lalu Madiun Affairs 1948 hingga Tragedi 1965. Dalam buku Ayat-Ayat Yang Disembelih (2015), tulisan Anab Afifi dan Thowaf Zuharon menjelaskan banyak kesaksian tentang banjir darah kaum santri dan kyai yang menjadi korban keganasan PKI tersebut. Termasuk hasil riset Tim PB NU yang dibukukan dengan judul Benturan NU-PKI 1948-1965 (2013) yang menjelaskan dengan rinci peristiwa demi peristiwa tersebut.
Adapun Abang Man jika bertandang ke Sula, selalu mampir minum kopi pagi dirumah saya dan mengobrol panjang lebar dengan bapak saya di pagi hari. Bahkan bapak saya sering menyarankan beberapa tema lokal yang bisa membantu Abang Man menyampaikan ceramahnya untuk memberi guidance bagi masyarakat. Abang Man sendiri adalah sosok yang diterima oleh berbagai kalangan tanpa sekat. Selain karena kemampuannya dalam berkomunikasi, ia mampu menampilkan wajah Islam yang tawadhu dengan argumentasi akademis, yang dapat dipahami oleh masyarakat pada tingkat grassroot tanpa mereka merasa di gurui. Saya kira pola berdakwah dengan gaya kultural seperti ini, telah menjadi karakter keseharian Abang Man. Bahkan suatu saat, kepada saya ia sempat menjelaskan makna kata haleluya, sebagai semantik Judeo-Kristiani dalam tradisi Semitik—tradisi di mana bahasa Arab pun berakar. Kita seringkali terjebak pada makna frasa yang terfragmentasi oleh proses pertikaian politik yang panjang, hingga sering mengaburkan asal-usul semantik dan tradisi itu sendiri.
Pada tahun 1997, Abang Man terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Maluku Utara, di mana saya juga pertama kali masuk ke dunia DPRD periode tersebut. Beliau terpilih karena memimpin Dewan Mesjid yang mewakili kalangan ulama muslim Maluku Utara. Zaman itu, anggota DPRD terpilih harus mengikuti pembekalan di Ambon, karena Maluku Utara masih satu provinsi dengan Maluku. Saya turut mendampingi beliau ketika ia ke Tulehu, kampungnya, pada suatu hari Jumat. Abang Man didaulat oleh keluarga besarnya untuk memberikan khotbah jumat. Mesjid tradisional di Tulehu tersebut memang sangat syarat akan ketentuan-ketentuan yang telah menjadi tradisi kultural. Mirip sekali dengan tradisi keislaman masyarakat adat di Maluku Utara umumnya. Saya memperhatikan bagaimana sebagai khatib, ia memegang tongkat, harus menggunakan jubah khatib tradisional. Mesjid Tulehu menjadi penuh sesak oleh jamaah shalat Jumat. Setelah jumatan, kami bersama-sama dijamu dengan makan popeda dirumah keluarga Abang Man, Dr. Ishak Umarella, seorang dokter senior di Kota Ambon yang juga anggota DPRD Provinsi Maluku saat itu. Saya merasakan suasana tradisional di kampung halaman Abang Man tersebut yang tak jauh berbeda dengan suasana Ternate. Dr. Ishak Umarela sendiri adalah tokoh masyarakat yang sangat disegani, baik sebagai pemuka agama dan tokoh adat masyarakat Islam setempat. Beliaulah yang meminta Abang Man untuk menjadi khotib Jumat saat itu di kampung halamannya.
Jika kita membuka Hikayat Tanah Hitu yang ditulis Imam Ridzali pada 1655, menelusuri jejak-jejak Islam di Ambon memang tak lepas dari pengaruh relasi dengan Ternate, Tidore, Jailolo, hingga Giri dan Gowa, juga Obi dan Makean. Bahkan Baabullah sempat mendirikan madrasah pertama kali di Tanah Hitu. Hitu sendiri berasal dari frasa kata Ternate, artinya dapur, atau pusat logistik. Maklum, dalam perang melawan Portugis, jazirah Leihitu menjadi pusat logistik dan turut bertempur habis-habisan melawan Portugis. Pasukan gabungan Makassar, Bugis, Ambon dan Ternate, bersama-sama menyerang Portugis setelah tragedi Diego Lopez Mesquitta, Gubernur Portugis yang membunuh Sultan Khairun di Benteng Nuestra Senhora del Rosario tersebut. Sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, memaparkan perang Jazirah Leihitu ini secara rinci. Ricklefs juga menampilkan masjid tradisional Wapauwe, Hila, di Ambon yang telah dibangun sejak 1414 Masehi yang masih terpelihara hingga sekarang. Jazirah inipun melakukan perang besar melawan VOC kelak, setelah Portugis hengkang dari Maluku. Maluku, memang menjadi titik awal perlawanan melawan kolonialisme dalam sejarah nusantara setelah jatuhnya Malaka pada 1511 ke tangan Alfonso de Albuquerque. Malukulah yang pertama kali merasakan pahit getirnya kolonialisme. Tindakan genosida atas penduduk Banda oleh Jan Pieterszoon Coen (1587-1629), Gubernur Jenderal Belanda ke 4 pada 1621, yang sangatlah mengenaskan merupakan tindakan genosida pertama dalam sejarah Asia. Itu terjadi di Kepulauan Maluku. Coen yang oleh Belanda dinobatkan sebagai pahlawan oleh Sri Ratu Belanda dan diabadikan oleh de Javasche Bank pada uang kertas Nederlandsch Indische pecahan seratus gulden pada tahun 1902 tersebut, sesungguhnya adalah seorang pembantai rakyat Maluku. Adalah Aristoteles (384-322 SM) yang menyatakan bahwa seorang warga negara yang dinilai terhormat bahkan sebagai pahlawan, belumlah tentu adalah seorang yang dipandang mulia oleh sesama manusia. Bisa jadi ia adalah seorang jahanam penindas kemanusiaan. Sebagaimana yang dilakukan Coen terhadap rakyat Maluku. Coen berkata: “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons!” (Jangan bubar, jangan beri ampun pada musuhmu, karena Tuhan beserta kita. ) Kepulauan Bandapun diblokade, rakyat Banda dibiarkan mati kelaparan dan sisanya diangkut ke Batavia sebagai budak. Sebagian malah mati dalam perjalanan ke Batavia tersebut.
Dalam catatan Des Alwi, dari 15.000 penduduk Banda, tidak lebih dari 1.000 orang yang berhasil menyelamatkan diri. Coen mengepung Kepulauan Banda dengan 13 armada, juga menyewa 100 orang ronin (samurai tak bertuan) bayaran dari Jepang sebagai algojo, untuk menebas kepala, tangan dan perut penduduk Banda, lalu ditancapkan di tiang bambu dan dipertontonkan di depan umum untuk menyebar teror dan ketakutan. Mirip dengan tindakan Lopez de Mezquitta, Gubernur Portugis terhadap Sultan Khairun, yang dibunuh dan dimutilasi untuk menyebar teror kepada rakyat Ternate, sebagaimana dijelaskan sejarahwan UI, Bondan Kanumoyoso. Itupun setelah Sultan Abu Hayat II (memerintah 1529-1531) dikriminalisasi dan diasingkan di Goa, India hingga akhir hayatnya. Termasuk memurtadkan Ratu Nukila (memerintah 1521-1526) dan Pangeran Tabariji (memerintah 1531-1534) yang kepemimpinannya mengancam Portugis. Nukila dan Tabariji juga berakhir tragis, bahkan jenazahnya pun tak sempat dibawa ke Ternate lagi. Mereka terkubur dalam sunyi, dinegeri nun jauh dari persada Maluku. Inilah tindakan persekusi pertama di nusantara. Akibatnya Sultan Baabullah dan Pangeran Tulo bersama seluruh kekuatan, mengepung Benteng Portugis selama 5 tahun untuk menuntut keadilan. Sejarawan M.C. Ricklefs mencatat, gubernur Portugis di Maluku Lopez de Mezquitta tewas dalam perjalanan ke Goa ketika kapalnya berlabuh di pelabuhan Jepara. Pasukan Demak dan Giri, yang mendengar dikapal tersebut ada musuh saudara-saudara mereka di Maluku, menyerbu ke kapal Portugis dan membunuhnya. M.C. Ricklefs juga mengungkapkan tentang perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC yang tak kalah hebatnya. Bahkan korban VOC terbesar di nusantara adalah di Maluku. Maluku juga kehilangan putra-putri terbaiknya seperti Pangeran Tulukabessy yang digantung mati, hingga peristiwa Benteng Doorstede di Saparua yang menampilkan pahlawan Maluku seperti Christina Marta Tiahahu dan Kapitan Pattimura pada 1817 tersebut. Sejarah nusantara seakan tertulis dengan ceceran darah rakyat Maluku.
Kepulauan Maluku, memang sejak lama menjadi sebuah kosmopolit abad pertengahan karena data tarik rempah-rempahnya. Jazirah Al Mulk ini menghasilkan pala dan cengkih bagi dunia. Sejak sebelum masehi, telah menjadi titik awal peradaban the spice route, yang mengawali the silk road (jalur sutera dunia), ungkap sejarawan LIPI A.B. Lapian. Dalam The Voyage and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, the Portuguese, Pinto telah mencatat tentang ramainya bandar perdagangan Maluku seperti Saparua dan kawasan Maluku lainnya. Juga Joana Hall Brierly dalam Spice, The Story of Indonesia’s Spice Trade (1994) mencatat Maluku telah menjadi pusat perdagangan sejak 1500 SM pada saat berkuasanya Kaisar Romawi Augustus, cengkih dan pala Maluku telah menjadi komoditi dunia. Termasuk era Mesir kuno, yang menggunakan cengkih untuk mummi para Pharaoh di Mesir. Rempah Maluku dihargai setara dengan emas dan permata. Bahkan Queen of Sheba pun mempersembahkan cengkih Maluku sebanyak 300 pound kepada King of Solomon pada tahun 992 SM. Tidak mengherankan jika perahu kora-kora Halmahera atau Halmahera Double Outriggers terpahat sebagai relief penting pada Candi Borobudur yang dibangun Wangsa Syailendra pada abad ke-9 Masehi. Leonard Andaya menyebut bahwa kora-kora Halmahera ini, mencapai jarak jauh antar samudera dengan muatan sebanyak 10 ton dan menampung 100 hingga 300 orang pendayung.
Artinya Maluku telah didatangi dengan damai, karena karakter rakyatnya yang selalu menerima para pendatang sejak berabad-abad silam. Leirissa menyebut para pedagang China, Arab, India, Persia, Melayu, Bugis, Makassar dan Jawa telah lama bermukim di Maluku untuk berdagang rempah-rempah, di mana mereka berinteraksi dengan damai. Hal yang sama dinyatakan oleh sejarawan Universitas Utrecht Gerrit Knaap, bahwa Ambon sejak abad pertengahan telah menjadi kota migrant karena dihuni berbagai etnis Asia hingga Eropa (mestizo dan mardijkers). Namun, hegemoni dan konflik timbul sejak kedatangan para pendatang Eropa (Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda) yang mempraktikkan kekerasan untuk memonopoli perdagangan dan meraup keuntungan besar secara sepihak. VOC juga tercatat membantai pedagang Inggris yang dikenal sebagai peristiwa Amboyna Massacre (Pembantaian Ambon) pada Februari 1623, dimana 10 pedagang Inggris, 10 pedagang Jepang dan 1 pedagang Portugis dieksekusi dan dimutilasi oleh Gubernur Belanda Herman van Speult di kota Ambon, karena kecurigaan akan keberpihakan para pedagang kepada Sultan Ternate yang menjamin perdagangan bebas dan adil oleh rakyat Maluku. Kapten Inggris Gabriel Towerson dan anak buahnya, ditebas putus kepalanya dan sengaja dipancang didepan Benteng Victoria untuk menjadi tontonan umum. Peristiwa dahsyat ini menghebohkan Batavia hingga London. Tidaklah mengherankan jika Maluku (Banda dan Pulau Run) juga kemudian dipertukarkan dengan New York dan kawasan Distrik Manhattan kemudian hari, oleh Belanda dan Inggris. Artinya Maluku, sejak lama telah menjadi sentra gejolak perebutan hegemoni global. Jack Turner menyebut orang-orang Eropa ini sebagai the spice invaders karena rempah-rempah Maluku menjanjikan kemakmuran yang luar biasa ada abad pertengahan tersebut. Turner juga mengutip gambar Amboyna Massacre yang dikutip dari The Emblem of Ingratude, London 1672 tersebut pada bukunya, Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme (2011). Sejarawan Universitas Texas, Adam Clulow juga menulis dengan rinci tentang pembantaian barbarian Amboina ini dalam bukunya Amboina, 1623, Fear and Conspiracy on the Edge of Empire (2019).
Adapun Sultan Zainal Abidin juga adalah Sultan Ternate yang berguru kepada Sunan Giri (wafat pada 1506 di Gresik). Zainal Abidin bersama sama Kapitan Hitu atau Patih Putih sama-sama berguru kepada Sunan Giri tersebut. Di Girilah mereka mengangkat persaudaraan. Abang Man, titisan peristiwa lama ini ternyata masih ada dalam diri Abang Man. Rupanya tradisi lisan di Jazirah Leihitu tetap terpelihara dari generasi ke generasi tentang keterkaitan mereka dengan Maluku Utara. Abang Man terlahir dan besar dalam lingkaran sejarah panjang tersebut. Memang eksistensi kita hari ini karena produk dari proses sejarah panjang masa lalu. Historia magistra vitae—sejarah adalah guru sang kehidupan.
Pada beberapa kali diskusi dengan beliau, Abang Man malah menjelaskan tentang makna ‘gam madihutu’ kepada saya. Gam madihutu adalah frasa lokal Maluku Utara, dimana seseorang memiliki akar titisan baik secara biologis maupun emosional-kultural dengan negeri yang ditempatinya. Ia tak akan melupakan asal-usul dari mana ia berasal. Gam madihutu adalah frasa tentang keidentitasan, tentang eksistensi seseorang. Makna besarnya adalah agar sebagai manusia, seseorang tidak mengalami ‘lost of identity.’ Dalam gelombang besar peradaban, yang namanya globalisasi dewasa ini, kita lihat menguatnya fenomena loss of identity menjadi sebuah arus utama. Oleh Kennichi Ohmae dalam tulisannya The End of Nations State (1995) menyatakan bahwa globalisasi didorong oleh 4 (empat) haI yang meliputi individu, informasi, investasi dan industrialisasi.
Setelah DRPD Maluku Utara Kabupaten Maluku Utara periode 1997-1999 tersebut, Indonesia memasuki era reformasi, sebuah gelombang perubahan tatanan politik nasional secara transformatif. Maluku Utara mulai bergerak memperjuangkan status kabupatennya menjadi sebuah provinsi. Maklum saja, dari 8 provinsi awal kemerdekaan Indonesia, hanyalah Maluku yang tidak pernah memekarkan dirinya. Abang Man kemudian memilih kembali ke kampus melanjutkannya tugas pokoknya sebagai ilmuan. Ketika saya dan kawan-kawan memperjuangkan pemekaran provinsi dan Kabupaten Maluku Utara menjadi beberapa kabupaten, Abang Man telah melanjutkan studi pascasarjananya pada UIN Ciputat. Namun disela-sela kesibukan kuliahnya, jika kami tiba di Jakarta untuk berkoordinasi dengan Dirjen PUOD, Depdagri dan Komisi II DPR RI saat itu, Abang Man bersama istrinya malah sering hadir di tempat kami kerja menyusun berbagai persyaratan dan konseptual untuk memenuhi syarat pemekaran yang dimintakan oleh Dirjen POUD dan Komisi II DPR RI. Makan siang kami adalah nasi bungkus murah restoran Padang, sambil meneruskan perjuangan pemekaran. Kami beberapa kali berdiskusi tentang Morotai sebagai kawasan khusus nantinya. Bahkan melibatkan Pak Ismeth Abdullah (Direktur Otorita Batam saat itu) untuk menjadikan Otorita Batam sebagai bahan perbandingan. Juga melibatkan Vincent Lachelly, seorang pelobi Kongres Amerika Serikat dan Atase Militer Kedubes AS di Jakarta, Captain US Navy, Rick Martinez. Maklum saja, Morotai memiliki kaitan sejarah sangat erat dengan Amerika Serikat karena pernah diduduki Pasukan Sekutu dalam Perang Dunia II oleh Jenderal Douglas MacArthur. Bahkan Captain US Navy Rick Martinez sempat kami ajak berkunjung ke Morotai.
Setelah Maluku Utara menjadi provinsi, Abang Man masih meneruskan perjuangannya, menjadikan status IAIN Ternate menjadi negeri. Beliau beberapa kali menemui saya untuk menyusun rekomendasi persetujuan DPRD Provinsi Maluku Utara, guna diajukan kepada Menteri Agama RI untuk syarat penegerian IAIN Ternate tersebut. Saya sempat bertanya kepada beliau, “Apa namanya IAIN yang mau dinegerikan tersebut?” Ia menjawab, “Zainal Abidin,” merujuk kepada nama Sultan Ternate yang berguru kepada Sunan Giri dan menjadi murid Maulana Malik Ibrahim sebagai nama IAIN Ternate. Sultan Zainal Abidin (memerintah 1486-1500) inilah yang bersahabat dengan Patih Putih atau Kapitan Hitu ketika sama-sama menjadi santri di Giri. Dalam catatan F.S.A de’Clercq (De Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate,1890), Zainal Abidin disebut sebagai de eerste sultan van Ternate. Zainal Abidin adalah Raja Ternate pertama yang menggunakan gelar sultan, menggantikan frasa tradisional kolano pada namanya, setelah ia berguru pada Sunan Giri tersebut. Di Padepokan Sunan Giri, Zainal Abidin juga dikenal sebagai Raja Bualawa, raja cengkih, karena mengongkosi biaya pendidikannya selama di Jawa dengan berdagang cengkih.
Abang Man juga muncul sebagai cendikiawan lokal bersama Jusuf Abdurrahman dan Sultan Ternate Mudaffar Syah, ketika Seminar Nasional Ternate sebagai Bandar Jalur Sutera, yang diadakan UNESCO pada 1996. Kebetulan saya adalah panitia penyelenggara yang meminta beliau sebagai salah satu narasumber lokal. Hadir sejarahwan kondang seperti Prof. A.B. Lapian, Prof. Taufik Abdullah, Prof. R.Z. Leirissa, Prof. Uka Tjandrasasmita, dan Prof. Saleh Putuhena serta antropolog etnolinguistik LIPI Prof. E.K.M. Masinambouw dan Prof. Pudji Astuti, ilmuan sejarah kodekologi UI. Seminar akbar ini dibuka oleh Prof. Eddy Sedyawati selaku Dirjen Kebudayaan saat itu. Hasil seminar tersebut kemudian dibukukan oleh Pemerintah Pusat menjadi sebuah panduan sejarah Maluku Utara yang cukup komprehensif. Seminar internasional ini, cukup membuka mata bagi kami, anak-anak daerah, bahwa sejarah besar tentang diri kita sendiri sering terlupakan karena tidak menjadi kurikulum sekolah formal pada tingkat lokal Maluku Utara. Kitapun terjebak dalam subordinasi kultural dari pusat kekuasaan yang demikian hegemonik selama ini, sehingga loss of identity terjadi. Mirip sekali dengan apa yang dinyatakan Edward Said, khususnya pada studi post-colonialisme dan orientalisme, di mana inferiority complex menjadi penyakit bangsa-bangsa terjajah. Untuk pengalaman bersentuhan dengan penjajahan, Maluku Utara (Ternate dan Tidore) adalah kawasan pertama di Nusantara yang bersinggungan langsung dengan kolonialisme Barat. Perebutan hegemoni global antara Portugis dan Spanyol, karena berlakunya Perjanjian Tordesillas maupun Perjanjian Zaragosa yang mengatur arah pelayaran kedua negara, menemui titik krusialnya di Ternate dan Tidore. Tidak mengherankan jika pusaran globalisasi klasik itu berawal dari kawasan dimana rempah-rempah menjadi faktor pemicu utamanya.
Nah, dalam diri Abang Man, mengalir titisan sejarah lama tersebut. Sering kita lupa untuk meluruskan sejarah karena terperangkap dengan inferiority complex kita sebagai bangsa post-colonial. Akibatnya, pelurusan tersebut memang menjadi tugas pokok kecendikiawanan. Para intelektuallah yang mampu memberi arah baru bagi pelurusan sejarah untuk merekonstruksi peradaban manusia. Tanpa hal tersebut, realitas Maluku Utara akan terkooptasi pada fenomena politik lokal yang menguras energi untuk saling bertikai dengan memanfaatkan identitas sub-etniknya, untuk kepentingan politik sesaat. Hal tersebut akan mengakibatkan fragmentasi sosial bekepanjangan yang traumatik jika tidak diakhiri dan diluruskan. Sementara pada tataran pusat kekuasaan, Maluku Utara tidak memiliki akses dan mobilitas struktural yang memadai untuk menjadi trigger penggerak bagi peradaban kemanusiaannya. Padahal sejarah panjang negeri ini, terpampang demikian jauh melintasi benua ke mancanegara. Siapa sangka bahwa Christopher Colombus menemukan Amerika sebagai benua baru pada 1492 karena kesalahan navigasi dalam perjalanannya mencari Kepulauan Maluku? Tidak salah jika Prof. Henk Niemeijer, ahli sejarah Maluku pada Leiden University, mengklaim bahwa tidak ada satupun peristiwa di Maluku yang tidak terkait dengan politik global di Eropa hingga Amerika. Juri Lina (2004), seorang penulis Swedia menyebut bahwa manipulasi sejarah secara efektif dilakukan atas bangsa terjajah dengan tiga hal: Pertama, kaburkan sejarah bangsa tersebut. Kedua, memutuskan bukti-bukti sejarahnya agar tidak bisa lagi diteliti kebenarannya. Ketiga, putuskan hubungan sejarah dengan para leluhurnya dan menyatakan bahwa leluhur kita bodoh dan primitif. Padahal Stephen Oppenheimer (2010), seorang dokter ahli DNA pada Oxford University, dan Prof Arysio Santos (2010), seorang geolog dan fisikawan nuklir Brazil, malah menuliskan buku dari riset mereka bahwa peradaban manusia yang ternyata berawal dari nusantara. Sebelumnya arkeolog Australia Peter Bellwood (2019) juga telah melakukan riset panjang hingga mencapai Maluku Utara dan menyimpulkan tentang migrasi pertama bangsa Austronesia yang berada pada kawasan nusantara timur ini. Bellwood bahkan menyatakan Papua adalah penduduk nusantara tertua ditinjau dari teori Out of Africa. Bellwood melakukan riset di Maluku Utara sejak tahun 1990 hingga 1996 membuktikan peradaban kita telah ada sejak 40.000 tahun silam pada kawasan yang disebutnya sebagai kawasan Wallacea ini.
Epilog
Bahwa apa yang diperjuangkan Abang Man, dalam pengamatan saya, berkisar seputar meluruskan persepsi anak negeri agar memahami identitas kulturalnya secara proporsional dan benar. Karena kita di Maluku, adalah produk dari sebuah proses sejarah yang demikian panjangnya dalam kisah peradaban. Bahkan sejarah bangsa ini, telah dimanipulasi sejak awal. Tugas mulia Abang Man sebagai intelektual telah diembannya hingga akhir hayat demi meluruskan persepsi yang terlanjur keliru tersebut. Tugas yang memang bukan menjadi sesuatu yang personal, karena kolektivitas dalam gerakan masif meluruskan peradaban demi kemanusiaan sesungguhnya adalah tugas setiap orang dalam posisinya sebagai khalifatul fil ardhi. Tanpa melaksanakan tugas tersebut, manusia, orang-per-orang, akan kehilangan fungsi utamanya sebagai khalifah, sebuah status yang hanya diberikan Tuhan kepada manusia semata, bukan mahluk ciptaan lainnya.
Saya teringat akan ucapan selamat yang saya beri beserta saran untuk membukukan disertasi doctoral Abang Man, ketika Abang Man meraih gelar akademis tertingginya di Ciputat. Buku Pluralisme dalam Perspektif Al-Qur’an (2007) dapat dijadikan rujukan oleh masyarakat umum, terutama di Maluku Utara sebagai tempat beliau mengabdikan dirinya sebagai gam madihutu, hingga penghujung hayatnya. Judul buku ini mengingatkan saya kepada Abang Man karena kami berdua sempat didaulat untuk memberikan kuliah bersama pada Nurcholish Madjid Memorial Lecture (2007), atas permintaan Universitas Paramadina, yang dilakasanakan di kampus UMMU Ternate. Buku yang mendapat kata pengantar dari Prof. Komaruddin Hidayat ini, seakan menandai ekspresi perjalanan intelektual Abang Man selama ini sebagai cendikiawan lokal, yang menyadari Maluku sebagai kawasan yang heterogen sejak lama, dan mengalami gejolak pasang surut dalam sejarahnya. Kesadaran sosial teologis menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk merekontruksi peradaban Maluku.
Sekalipun tugas kecendikiawanan ini belum selesai, namun Abang Man telah meninggalkan legacy yang baik generasi pelanjutnya sebagai cikal bakal generasi par exellence bagi bangsa ini serta membesarkan kampus sebagai kawah candradimuka untuk itu. Tradisi intelektual haruslah terus dibangun untuk merekontruksi peradaban dan kemanusiaan. Abang Man seakan meresapi dan mengamalkan kalimat hikmah Hujjatul Islam Al-Ghazali:
“Ketahuilah bahwa keridhoan adalah pintu Allah SWT yang paling mulia. Barangsiapa yang menemukan jalan untuk menggapainya, maka ia akan berada pada derajat yang paling tinggi.”
Pada pagi sebuah subuh, tepatnya pukul 04.00, tanggal 8 Juli 2020, Abang Man menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia menghadap Sang Khalik Ilahi Rabbi dengan tenang, menggapai derajat yang dijanjikan Sang Khalik bagi kaum cendikiawan yang beriman dan berilmu. Tuntaslah sudah amanah kehidupannya sebagai cendikiawan, yang senantiasa mengedepankan wajah Islam penuh senyum dan rahmatan lil alamin. Tugas peradaban selanjutnya akan beralih kepada mereka-mereka yang sadar akan fungsi kekhalifahannya. Maluku Utarapun tersentak, kehilangan seorang pejuang dan duta peradabannya. Ia telah memberi banyak warna dalam perjuangan syiar peradaban di persada Maluku Utara. Abdul Rahman Ismail Marasabessy, seorang gam madihutu itu, telah membuka jalan intelektual bagi generasi pelanjut peradaban Maluku dan Maluku Utara. Seperti sepenggal puisi Rumi: “as you start to walk on the way, the way appears…”
Selamat jalan sang cendikiawan…
Lahu Alfatihah…Amin YRA.
(Di Pojok Kaki Gamalama, Akhir September 2020.)
Daftar Pustaka:
- Adam Clulow. Amboina, 1623. Fear and Conspiracy on the Edge of Empire. Columbia University Press, New York. 2019.
- Anab Afifi & Thowafi Zuharon. Ayat- Ayat yang Disembelih. Sejarah Banjir Darah Para Kyai, Santri, dan Penjaga NKRI oleh Aksi-Aksi PKI. Jagat Publishing. Jakarta. 2015.
- Arysio Santos. Atlantis The Lost Continent Finally Found. Ufuk Press. Jakarta. 2010.
- Bartholomew Leonardo de Argensola. The Discovery and Conquest of the Molucco and Phillipine Islands. London. 1708.
- Des Alwi. Sejarah Maluku. Banda Neira, Ternate, Tidore dan Ambon. Dian Rakyat. Jakarta. 2005.
- F.S.A. de’Clercq. De Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate. E.J. de’Brill. Leiden. 1890.
- Ferdinand Mendez Pinto, Arminius Vambrey. The Voyage and Adventure of Ferdinand Mendez Pinto, the Portuguese. London. 1663.
- Gerrit J. Knaap. A City of Migrant: Kota Ambon at the End of Seventeenth Century. Utrecht. 2017.
- Hubert Th.Th.M. Jacobs, SJ. Historia Das Molucas. A Treatise on the Moluccas (C. 1544). Probably the Preliminary Version of Antonio Galvano’s Lost Historia Das Molucas. Jesuit Historical Institute. Rome, Italy. 1971.
- Jack Turner. Sejarah Rempah, Dari Erotisme Sampai Imperialisme. Komunitas Bambu. Jakarta. 2011.
- Joanna Hall Brierley. Spice, The Story of Indonesia’s Spice Trade. Oxford University Press. New York. 1994.
- Juri Lina. The Architect of Deception. The Concealed History of Freemasonry. Stockholm. 2004.
- Peter Bellwood. The Spice Islands in Prehistory. Archeology in the Northern Moluccas, Indonesia. Australian National University Press. Canberra. 2019.
- Stephen Oppenheimer. Eden in The East. Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara. Ufuk Press. Jakarta. 2010.
- Tim PB-NU. Benturan NU-PKI 1948-1965. Jakarta. 2013.[*]