
Ternate, Titiknusantara.com- Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (DEMA FEBI), Zulfikar A.K. Rajab menilai Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Malut) tidak proaktif dalam mendukung kegiatan kemahasiswaan sebagai wujud kekaryaan intelektual.
Di tengah melimpahnya potensi ekonomi daerah, Dia menilai ketidakhadiran pemerintah dalam ruang-ruang intelektual mahasiswa sebagai bentuk kegagalan dalam membangun SDM unggul berbasis lokal. Sabtu 17 Mei 2025.
“Maluku Utara adalah daerah kaya sumber daya, dari tambang nikel, perikanan, hingga potensi pariwisata bahari. Tapi ironis, ruang intelektual mahasiswa untuk mengkaji, mengawasi, dan memberi masukan terhadap pengelolaan potensi ini justru minim didukung pemerintah,” tegasnya.
Menurutnya, pemerintah provinsi dan DPRD terlalu terpaku pada pendekatan teknokratis yang tertutup dari partisipasi publik, terutama mahasiswa. Padahal, mahasiswa memiliki kapasitas riset dan analisis kritis yang seharusnya dijadikan mitra dalam merancang kebijakan pengelolaan potensi daerah.
Dia menyebut bahwa selama ini aktivitas mahasiswa dalam mengangkat isu-isu strategis seperti keberlanjutan tambang nikel di Halmahera, hilirisasi industri perikanan, serta optimalisasi pariwisata halal tidak mendapat tempat di meja birokrasi. “Kami membuat kajian, riset lapangan, dan rekomendasi, tapi tidak pernah ditanggapi serius. Padahal ini kontribusi ilmiah, bukan opini liar,” ujarnya.
Dia memberkan fakta bahwa Maluku Utara merupakan salah satu provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia pada 2023, mencapai di atas 20%, didorong oleh ekspor tambang. Namun, pertumbuhan tersebut belum dinikmati secara merata oleh masyarakat. Tingkat kemiskinan masih relatif tinggi, dan ketimpangan pembangunan antarwilayah masih mencolok.
“Inilah celah di mana mahasiswa hadir: memberikan kritik berbasis data, mendesak keadilan distribusi sumber daya, dan menawarkan solusi. Tapi jika pemerintah hanya menjadikan mahasiswa sebagai pendengar pidato, maka kita sedang menyia-nyiakan aset intelektual daerah,” katanya.
Dia juga mendesak agar pemerintah tidak hanya memanfaatkan mahasiswa sebagai pelengkap seremoni, tetapi mulai membangun mekanisme kemitraan nyata. Ia menyarankan pembentukan forum bersama antara OPD dan organisasi mahasiswa, penyediaan anggaran riset kampus, dan pelibatan mahasiswa dalam penyusunan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).
Untuk itu, Dia bilang penguatan SDM lokal, termasuk mahasiswa, adalah kunci dari transformasi ekonomi Maluku Utara yang berkelanjutan. “Jangan hanya bicara nikel dan tambang. Kita harus bicara siapa yang akan kelola itu ke depan. Tanpa SDM kritis dan berdaya, kita hanya jadi penonton di tanah sendiri,” ungkapnya.
Dia berharap pemerintah tidak hanya merespons secara defensif, tapi justru membuka ruang kolaborasi aktif dan sejajar dengan komunitas intelektual muda. “Kritik kami adalah bentuk cinta pada daerah. Pemerintah seharusnya menyambutnya sebagai energi, bukan ancaman,” pungkasnya.
(kl/wer)