
Foto: Ridwan Sihombing
Oleh: Ridwan Sihombing
Kehidupan peradaban tak luput dari cinta dan benci. Dua hal tersebut menggerakkan peradaban. Kedua paradoks tersebut saling menghubungkan dan saling menegasikan. Cinta tak bisa memahami dirinya tanpa adanya benci. Cinta menegaskan dirinya karena adanya benci. Benci menegaskan status dirinya karena adanya cinta. Kedua sifat ini saling menegaskan keberadaannya dan juga saling menegasikan. Cinta tak mungkin ada tanpa benci, demikian sebaliknya. Seperti halnya dokter yang menegaskan dirinya dengan adanya pasien. Tanpa penyakit dan sakit, tak mungkin dokter akan menegaskan dirinya dalam status dan fungsi. Seperti halnya keberadaan kita ditentukan oleh keberadaan orang lain.
Cinta dan benci saling menghubungkan dan saling menegaskan keberadaan dirinya. Di sisi lain, cinta dan benci saling menegasikan. Cinta berusaha keras untuk menghilangkan benci dan kebencian. Namun bagaimana kerasnya usaha cinta untuk melenyapkan benci, benci itu tetap hadir untuk menegaskan dirinya. Demikian benci hadir untuk melenyapkan cinta. Bagaimanapun usaha benci berusaha keras melenyapkan cinta, api cinta itu tetap eksis menghiasi kehidupan dunia.
Bagaimana memahami paradoks yang saling menegaskan dan saling menegasikan dirinya. Peradaban ini digerakkan oleh cinta dan benci. Cinta lah yang membuat peradaban menjadi cantik, elok dan indah. Cinta menghadirkan estetika dalam peradaban. Cinta yang membuat peradaban nampak halus dan indah untuk dilihat. Perdamaian dan kerjasama adalah praksis dari cinta, sebuah aksiologis yang menggerakan peradaban menjadi mesin yang produktif. Cinta menghadirkan stabilitas dan stabilitas adalah fondasi dan landasan sebuah peradaban terus bergerak dan produktif. Peradaban menjadi mesin yang produktif karena cinta yang menggerakannya. Inilah mengapa pertumbuhan dan pembangunan ekonomi akan sulit berjalan jika tidak ada stabilitas didalamnya. Stabilitas tidak mungkin ada jika tidak ada cinta yang menghadirkan stabilitas. Bagaimana mungkin stabilitas ada jika minimal tidak ada cinta didalamnya. Cinta yang menciptakan persatuan meskipun hidup dalam perbedaan. Orang-orang yang menjadi penggerak peradaban itu membuat etika, norma dan hukum agar hidup terasa stabil. Etika, norma dan hukum hadir karena ada landasan cinta yang membuat eksistensi mereka ada untuk memperkuat stabilitas. Stabilitas itu pula yang membuat peradaban menjadi mesin produktif yang menghasilkan ilmu pengetahuan, seni, estetika, kecantikan, produk materiil, rasa, musik, lagu, film, drama, tata politik, tata ekonomi, dan tata hukum.
Demikian benci juga menggerakan peradaban. Menggerakkan peradaban ke arah yang sifatnya destruktif. Perang dan permusuhan digerakkan oleh suatu akar yang bernama benci. Benci menghasilkan suatu sayatan hati, menghasilkan luka bathin bagi mereka yang menanamkan benci itu. Anak-anak yang terlahir didalam kebencian akan melihat dunia dari sisi yang gelap. Anak-anak yang terlahir dari keluarga yang saling membenci akan melihat dunia dari sisi yang paling kejam. Dunia nampak melelahkan bagi mereka. Dunia nampak tidak ramah bagi mereka dan energi mereka habis hanya untuk menghasilkan dendam dan luka bathin. Mekanisme kehidupan mereka hanya digerakkan oleh suatu akar yang disebut benci. Mereka didewasakan oleh benci dan ingin menyalurkan benci ke orang lain. Itulah mengapa adik-adik angkatan yang mengalami pelatihan dengan plonco dan kekerasan oleh kakak-kakak kelasnya akan menyalurkan kembali kekerasan itu ke junior-juniornya ketika mereka nanti menjadi senior. Suatu lingkaran kekerasan yang dihasilkan oleh akar penggerak yang dinamakan benci. Benci yang juga menjadi penggerak peradaban. Peradaban menjadi rusak dan hancur karena perang dan permusuhan. Perang dan permusuhan terjadi karena akar benci yang menggerakkannya. Kita bisa melihat dalam sejarah, sebuah peradaban yang hancur luluh lantak akibat perang akan menampakkan sisa-sisa kehancuran yang miris dilihat oleh mata. Perang dan permusuhan akan membuat peradaban nampak menjadi rusak, hancur dan tidak indah dilihat oleh mata. Akar semua itu adalah benci dan kebencian yang membuat peradaban menjadi mesin produktif namun mesin produktif dalam arti yang buruk yaitu mesin penghasil kehancuran, kesuraman dan kesedihan.
Kedua paradoks ini adalah mesin yang menggerakkan jalannya peradaban. Peradaban berjalan dan berfungsi karena dua akar itu menjadi mesin produktif yang menghasilkan dua paradoks yang saling menegasikan namun nampak saling menghubungkan. Yang satu menghasilkan kedamaian, stabilitas dan keindahan sedangkan yang satu lagi menghasilkan kehancuran, kesuraman, dan kesedihan. Memahami kedua paradoks ini adalah kunci bagaimana kita memaksimalkan yang satu dan bagaimana meminimalisir yang satu lagi. Tentu kita akan memaksimalkan cinta karena cinta adalah mesin produktif yang menghasilkan kedamaian, keagungan dan keindahan. Sedangkan yang satu lagi yang berwujud benci, walaupun kerasnya kita berjuang menghilangkan benci, namun benci tetap hadir mengisi kehidupan. Cara bijak memperlakukan sesuatu yang berwujud benci ini adalah meminimalisir benci ini agar tidak menjadi mesin yang merusak peradaban.
Tatapan Benci
Dalam buku “Being and Nothingness” yang ditulis oleh Filsuf Prancis, Jean Paul Sartre dan terbit pertama kali tahun 1943. Di dalam buku tersebut, Sartre membahas tentang eksistensialisme kehidupan dalam bentuk tatapan benci. Tatapan benci inilah yang membuat terjadinya konflik, perang dan permusuhan yang menjadi mesin negatif penggerak peradaban. Tatapan benci yang diawali dengan rasa curiga. Rasa curiga dalam memandang dan melihat orang lain. Saya menaruh rasa curiga terhadap orang lain, demikian pula sebaliknya orang lain menaruh rasa curiga terhadap saya. Ontologi rasa curiga yang menyebabkan tatapan benci terjadi. Tatapan benci yang menyebabkan terjadinya konflik, perang dan permusuhan. Suatu mesin negatif yang mengarahkan peradaban ke dalam bentuk kesedihan dan kesuraman.
Di suatu pintu kamar, ketika saya sedang berusaha mengintip dari lubang kamar untuk mengetahui apa yang terjadi didalam kamar tersebut, ada seseorang melangkahkan kakinya menuju ke arah posisi saya. Suara sepatu kakinya yang terdengar seperti suara sepatu prajurit militer. Suara itu yang terasa misterius membuat saya merasakan adanya ketakutan. Sosok orang ini terlihat di belakangku. Dia melihat dengan rasa curiga apa yang sedang saya lakukan. Saya tidak melihat langsung ke belakang dan saya tidak memutar tubuh saya untuk melihat apa yang orang itu lakukan. Namun saya merasa kehadiran orang itu seperti melihat saya dengan rasa curiga. Ketika saya melihat dari lubang kunci kamar, dunia seperti nampak saya kuasai. Saya bisa mendikte dunia ini dengan bebas berdasarkan perspektif saya, paradigma saya dan logika saya. Dunia nampak ramah dan tidak asing bagi saya karena saya mampu mengendalikan dunia ini berdasarkan acuan dan penilaian saya. Namun ketika ada orang lain menuju ke arah saya dan terlihat dia ada di belakang saya disaat saya sedang melihat dari lubang pintu kamar, maka dunia yang sedang saya kendalikan nampak hancur luluh lantak dihadapan saya.
Orang itu menatap saya dari belakang dan menaruh rasa curiga atas apa yang sedang saya lakukan. Saya sedang asyik melihat dari lubang pintu kamar, namun orang itu tiba-tiba hadir menatap saya. Dunia yang tadinya nampak ramah hadir didalam dan saya kuasai, tiba-tiba saya mengalami lepas kendali, dunia yang tadinya saya kuasai seperti terlepas dari kuasa kendali saya. Saya merasakan keringat dingin membasahi tubuh saya ketika saya ditatap oleh orang itu. Saya merasa malu ketika ditatap orang itu dari belakang. Ketika saya melihat sesuatu dari lubang pintu kamar, saya merasakan dunia seperti milik saya. Namun ketika seseorang melihat saya dari belakang, aktivitasku melihat dari lubang pintu kamar nampak seperti sergapan yang membuat saya malu dengan tatapan orang itu dari belakang saya. Tatapannya dari belakang membuat saya malu dan tubuhku terasa keringat dingin membasahi tubuh saya. Tadinya dunia itu saya miliki namun dengan tatapan orang itu dari belakang membuat kendali saya atas dunia ini menjadi hilang seketika.
Saya merasa malu ditatap orang itu dari belakang. Tadinya saya menjadi subjek yang utuh ketika saya melihat dari lubang pintu kamar, namun ketika hadir seseorang menatap saya dari belakang, seketika itu juga saya merasa malu dan saya mengalami kehilangan subjektivitas. Saya yang tadinya menjadi subjek yang utuh kini menjadi objek yang diperalat oleh orang itu dengan tatapan matanya dari belakang saya. Saya kehilangan subjektivitas dan sekarang saya menjadi objek tatapan dia dari belakang. Agar saya merebut kembali subjektivitas saya, maka saya harus memutar badan saya ke belakang dan melihat dia dengan tatapan saya. Saya harus balik badan menatap dia. Saya harus menatap dia untuk merebut subjektivitas saya kembali dan menjadikan dia menjadi objek tatapan mata saya. Ini saya lakukan agar saya tidak kehilangan subjektivitas saya dan saya berusaha merebut kembali subjektivitas saya dengan menatap balik orang itu. Sekarang saya dan dia saling menatap mata. Tadinya saya merasa malu dengan tatapan orang itu dari belakang, namun saya menatap dia balik. Sekarang saya menjadi seorang pribadi yang berani dan percaya diri dengan menatap dia. Kini kami saling menatap mata. Saling menatap mata dengan rasa saling curiga dan saling mengobjektifkan. Demikian kami saling menatap dengan rasa curiga dan perasaan was-was. Dia menjadi objek tatapan saya dan saya menjadi objek tatapan dia akibat kami yang saling menatap.
Demikian hubungan antar manusia kadang dilandasi hubungan yang sifatnya saling mengobjektifkan. Orang lain menjadi objek tatapan saya dan saya menjadi objek tatapan orang lain. Demikian konflik antar manusia terjadi karena hubungan yang membuat orang lain menjadi objek tatapan. Perang, permusuhan dan konflik terjadi ketika orang lain dan pihak lain diperlakukan sebagai objek. Saya membuat orang lain menjadi objek saya dan saya menjadi objek orang lain. Hubungan seperti ini berpotensi menimbulkan benci dan kebencian. Benci timbul dari karena tatapan yang membuat orang lain menjadi objek tatapan. Benci yang menjadi penggerak peradaban dalam bentuk yang negatif bermula dari tatapan benci, tatapan yang membuat orang lain menjadi objek tatapan saya. Inilah akar penggerak benci dan kebencian. Relasi antar manusia menjadi relasi yang saling menatap. Menatap dengan saling curiga. Menatap dengan berdasarkan tatapan kebencian. Hubungan yang diwarnai saling mendominasi. Yang satu ingin mendominasi yang lain, demikian pula sebaliknya. Relasi yang diwarnai rasa curiga dengan tatapan benci yang menciptakan relasi saling mendominasi. Inilah yang tragis dari hubungan antar manusia yang juga mengerakkan peradaban. Peradaban digerakkan oleh mesin kebencian yang menciptakan perang, konflik dan permusuhan. Semuanya bermula dari tatapan benci yang penuh rasa curiga.
Demikian dalam hubungan dua saudara perempuan kakak adik. Yang seorang kakak kandung dan seorang adik tiri. Kakak kandung karena merasa sebagai orang yang secara sah memiliki rumah namun dengan hadirnya adik tiri, dia merasa tersaingi. Rumah yang begitu ramah dan hangat saya miliki dan saya rasakan, namun kini begitu dingin dan kaku ketika hadirnya adik tiri.
Sebagai kakak kandung, saya merasa bebas mendefinisikan rumah yang saya diami. Sebagai kakak kandung, saya merasa diri saya sebagai subjek yang utuh dalam mengamati rumah saya. Sebagai kakak kandung, saya merasa sebagai subjek yang penuh dalam mengapresiasi keindahan rumah saya. Rumah yang saya diami nampak begitu utuh, indah dan ramah bagi saya. Saya bisa dengan bebas memindahkan kursi dan meja di rumah saya sesuai dengan kemauan saya, karena saya adalah subjek yang utuh dalam memperlakukan rumah saya.
Sebagai subjek yang utuh, saya bisa dengan bebas mendefinisikan keadaan rumah saya sesuai dengan kemauan saya. Sebagai subjek yang utuh, saya adalah pengendali tunggal atas keberadaan rumah saya. Sebagai subjek yang utuh saya merasa bebas melakukan apa saja dirumah saya. Saya bisa dengan bebas tidur kapan pun dan bangun kapan pun di rumah saya. Sebagai subjek yang utuh di rumah saya, saya bisa merasa bebas duduk dimana saja yang saya suka tanpa ada dikte dan pengaturan dari orang lain. Televisi yang ada di rumah saya adalah sepenuhnya dalam kendali saya. Saya dengan bebas memutar channel yang saya sukai karena saya adalah pengendali tunggal. Sebagai kakak kandung yang menjadi subjek yang utuh di rumah saya, saya merasakan keberadaan rumah saya menjadi sesuatu yang ramah, hangat dan bersahabat bagi saya.
Namun hadirnya adik saya yang berstatus sebagai adik tiri, maka berubahlah skenario yang saya kendalikan atas rumah saya. Bak sebagai sutradara, saya bisa mengatur skenario apa saja di rumah saya. Sebagai sutradara, saya menjadi subjek yang utuh di rumah saya. Namun kehadiran adik tiri saya, saya merasakan kecemasan eksistensial yang menusuk langsung ke dalam pusaran pikiran bawah sadar. Ketika saya takut, saya merasakan dengan jelas, saya takut kepada objek apa. Saya takut karena objek ketakutan itu jelas. Saya bisa takut karena kecoa, tikus dan semut. Saya takut karena objek ketakutan itu jelas. Namun ketika kecemasan itu muncul, saya merasa kesulitan mendefinisikan objek kecemasan saya. Saya merasa cemas dengan kehadiran adik tiri saya, namun rasa cemas itu seperti rasa cemas akan ketiadaan. Objek rasa cemas seperti samar-samar dan tiada, walaupun rasa cemas itu muncul karena keberadaan adik tiri saya. Rasa cemas yang muncul dari ketiadaan dan mengakibatkan ketiadaan karena keberadaan adik tiri saya yang membuat saya menjadi subjek yang seperti tiada dan bergerak ke arah pengnihilan.
Kini keberadaan saya sebagai kakak kandung harus berbagi dengan adik tiri saya. Subjektivitas yang utuh yang saya rasakan kini menyusut dengan keberadaan adik tiri saya. Subjektivitas yang penuh saya rasakan di rumah saya kini berkurang dengan hadirnya adik tiri saya. Subjektivitas yang penuh saya rasakan kini mengalami proses residu dan proses reduksionis ketika hadir sosok adik tiri di rumah saya. Saya harus berbagi subjektivitas dengan adik saya. Subjektivitas saya menurun di rumah saya dan jumlah subjektivitas saya yang menurun kini ditambahkan ke dalam subjektivitas adik tiri saya dan membuat subjektivitas adik tiri saya semakin bertambah. Saya harus berbagi subjektivitas dengan adik saya. Saya tadinya sebagai pengendali tunggal atas keberadaan rumah saya, kini saya harus berbagi peran dan kuasa dengan adik saya. Saya tadinya sebagai sutradara tunggal atas skenario-skenario di rumah saya, kini saya harus berbagi pengaturan skenario dengan adik saya. Saya yang tadinya merasa sebagai pemilik tunggal atas keberadaan rumah saya, kini saya harus berbagi kepemilikan dengan adik saya. Dengan demikian saya harus berbagi subjektivitas dengan adik tiri saya.
Demikian gambaran konflik, permusuhan dan perang yang mewarnai kehidupan hubungan antar manusia karena diwarnai hubungan yang saling memperebutkan hak subjektivitas. Benci dan kebencian adalah mesin penggerak yang didasarkan hak untuk merebutkan hak subjektivitas. Hubungan antar manusia menjadi hubungan yang disulut oleh kepentingan untuk merebut dan menguasai hak subjektivitas. Aku ada karena aku merebut dan mempertahankan subjektivitas saya. Orang lain pun demikiann merebut dan mempertahankan subjektivitas mereka. Benci dan kebencian menjadi mesin kehidupan yang digerakkan oleh hak untuk saling merebut dan mempertahankan hak subjektivitas. Mesin ini pula yang menggerakkan peradaban kehidupan. Mesin yang bergerak dengan didasarkan hak saling merebut dan meraih subjektivitas. Subjektivitas menjadi lahan dan arena untuk saling diperebutkan.
Jean Paul Sartre adalah filsuf fenomenologi eksistensialisme asal Prancis. Pendekatan filsafatnya adalah fenomenologi yang melihat objek fenomena secara dingin dengan menunda konsep dan penilaian kita. Biarlah objek itu tampil apa adanya dihadapan kita berdasarkan sudut pandangnya. Yang perlu kita lakukan adalah menunda perspektif dan penilaian kita dalam melihat objek agar objek itu tampil di hadapan kita dengan utuh. Biarlah objek fenomena itu tampil apa adanya berdasarkan sudut pandangnya.
Pendekatan fenomenologinya juga berakar dalam melihat dan mengamati persoalan eksistensialisme kehidupan manusia, salah satunya mengenai eksistensi konflik yang didasarkan tatapan benci. Tatapan benci yang menjadi salah satu problem eksistensialisme manusia dijelaskan oleh Sartre dengan pendekatan fenomenologinya.
Cinta Dalam Psikoanalisis Zizek
Bagi Slavo Zizek, Filsuf Psikoanalisis dari Slovenia, mencintai adalah mencintai yang sulit, mencintai yang melampaui batas kesulitan. Mencintai yang melampaui. Mencintai yang nampak seperti tidak dicintai.
Konsep cinta yang dibangun oleh Slavo Zizek, mencintai apa yang tidak bisa dicintai. Mencintai apa yang tidak bisa dicintai adalah mencintai sesuatu yang tidak diinginkan, mencintai objek yang tidak diinginkan. Mencintai yang tersulit sekalipun. Mencintai sesuatu yang tanpa pamrih. Mencintai yang melampaui batasan apapun sehingga kita mencintai secara metafisis dan mencintai dari hakikat terdalam.
Jika mencintai sesuatu karena mengharapkan balasan, itu bukan cinta yang sesungguhnya. Jika mencintai karena harapan pamrih, itu bukan cinta yang sesungguhnya. Cinta yang transaksional yaitu cinta yang dilekatkan dengan alasan-alasan yang menguntungkan. Saya mencintai karena ada maksud tertentu. Ambil contoh cinta seorang pemuda kepada gadis pujaannya karena kecantikannya, kemolekannya dan kelembutannya. Dia mencintai karena kriteria. Kriteria-kriteria itu yang menjadi ukuran dia mencintai gadis pujaannya. Kriteria itu yang menjadi fondasi rasa cintanya. Ketika kriteria itu hilang, mungkinkah dia masih mencintai gadis itu. Dia mencintai karena kemelekatannya. Kriteria-kriteria tersebut karena konsep-konsep yang melekat hadir sebagai ukuran cintanya. Dia mencintai karena sesuatu alasan yang terukur. Dia mencintai karena masih mencintai secara kesanggupan. Dia belum mencintai sesuatu yang tak tercintai.
Mencintai yang tak dapat cintai. Cinta tersebut harus hadir dari kebebasan. Kebebasan mencintai yang tak dapat dicintai. Cinta yang hadir dari pilihan bebas. Kebebasan mencintai sesuatu yang tidak pantas dan menyakitkan namun mencintai hal tersebut dengan tulus. Mencintai sesuatu yang melampaui rasa cinta yang biasa-biasa saja.
Terkesan radikal fondasi cinta yang dibangun dalam epistemologi Slavo Zizek. Kehidupan saat ini memang diwarnai oleh rasa cinta yang didasarkan kepentingan. Mencintai karena ada maksud tertentu. Orang mencintai karena ada objek cinta yang hadir di hadapannya. Ketika objek itu hilang, maka gugurlah makna cinta itu. Mencintai karena ada kriteria dan ukuran cinta itu. Ketika kriteria dan ukuran cinta itu hilang, maka berakhirlah cinta itu dan dengan berakhirnya cinta itu, maka bersiaplah untuk bercerai. Perceraian menjadi semacam tanda cinta itu hilang. Mencintai itu menyatukan dan mencintai itu mengajak yang jauh menjadi lebih dekat, memeluk yang berpisah supaya erat. Cinta itu menyatukan dan menghancurkan isolasi keterpisahan. Cinta adalah menghancurkan keterpusatan ego dan menjadikan dunia menjadi rumah yang ramah untuk ditinggali. Orang yang hidup dalam cinta adalah orang yang mengalami keterpuasan bathin. Dirinya merasa tenang, bahagia dan sukacita. Surga sudah seperti dia rasakan di hati. Orang yang hidupnya tidak memiliki cinta, maka hati dan pikiran seperti mengalami kelelahan. Energinya habis untuk perasaan luka bathin. Hidupnya seperti didalam neraka.
Slavo Zizek adalah filsuf psikoanalisis dari Slovenia. Filsafatnya lebih berfokus pada psikoanalisis. Pengaruh Hegelianisme, Nilai Kekristenan, Marxisme, dan budaya kontemporer membentuk corak gaya filsafat Slavo Zizek yang tidak linear. Ia menggunakan interpretasi psikoanalisis Jacques Lacan dalam menganalisis budaya dan kehidupan manusia di era kontemporer. Konsep cinta yang dibangun oleh Slavo Zizek adalah cinta yang lahir dari tindakan yang bebas untuk mencintai yang tak dapat dicintai. Pilihan bebas untuk mencintai yang tak masuk di akal. Mencintai yang bersifat melampaui.
Konsep Aufhebung yaitu konsep melampaui tesis dan antitesis dalam gaya filsafat Hegel nampak sepertinya mempengaruhi dalam konsep cinta yang dibangun oleh Slavo Zizek yaitu mencintai yang tak dapat dicintai. Walaupun pengaruh tersebut harus ditafsirkan lagi untuk menemukan tautan penafsiran itu. Cinta sebagai tesis dan tidak cinta sebagai antitesis, jika dilakukan konsep pelampauan dua konsep tersebut bisa menghasilkan cinta yang melampaui cinta biasa, cinta yang menaklukan ketidakcintaan dan menegaskan dirinya menjadi cinta yang tak dapat dicintai. Ini adalah hermeneutik saja. Hermeneutika kecurigaan ini seperti menangkap adanya pengaruh Hegel dalam skema cinta Zizek. Mencintai tak dapat dicintai demikian konsep cinta Slavo Zizek.
Jika kita lihat cinta yang luar biasa dan cinta yang penuh pengorbanan, maka itulah mencintai yang tak dapat dicintai. Cinta seorang istri yang merawat suaminya yang sakit. Rasa cintanya yang luar biasa mengalahkan keterpusatan ego dan hancurkan isolasi diri. Seorang istri yang bekerja sendirian menghidupi kehidupan rumah tangga meskipun suaminya terbaring sakit di rumah. Sambil merawat suaminya yang sakit, dia tetap kerja keras menghidupi keluarganya dan menghidupi kebutuhan makan dan sekolah anak-anaknya. Dedikasinya yang tinggi dan tanpa lelah tetap setia merawat suaminya yang sakit sambil terus tekun bekerja menghidupi keluarganya.
Demikian pengorbanan seorang ibu yang rela bangun pagi hari demi mempersiapkan kebutuhan anak-anaknya sebelum berangkat ke sekolah. Pengorbanan seorang bapak yang kerja keras menghidupi keluarga agar istri dan anak-anaknya bisa makan dan bisa sekolah. Mencintai yang tak dapat dicintai adalah cinta yang didasarkan rasa ketulusan dan pengorbanan. Seseorang mau berkorban demi cinta karena ada panggilan tulus dalam memperjuangkan cintanya itu. Cinta itu yang membuat dunia menjadi tempat yang indah dan damai untuk ditinggali. Panggilan cinta itu adalah menghancurkan isolasi ego kita demi melayani orang yang kita cintai. Cinta yang didasarkan ketulusan. Mencintai yang tak dapat dicintai yang lahir dari kebebasan dan bukan dari keterpaksaan.
Simpul Akhir.
Dengan adanya paradoks cinta dan benci yang menggerakkan peradaban, maka kita berharap cinta lah yang mendominasi kehidupan dunia ini. Di tengah benci dan kebencian, masih ada cinta yang hadir di dunia ini. Cinta ini yang membuat dan menggerakkan peradaban menjadi halus, indah, elok dan sejuk. Namun benci juga yang menggerakkan peradaban ini menjadi hancur dan luluh lantak akibat benci, suatu akar yang juga digerakkan oleh tatapan benci.
Dua mesin yang menggerakkan peradaban. Dari paradoks ini, kita pasti memilih cintalah yang menggerakkan peradaban ini, namun realitasnya benci juga hadir menegasikan cinta dan membuat peradaban menjadi tak indah dan tak elok dilihat jika benci itu menggerakkan peradaban.
Cinta adalah panggilan untuk mencintai orang yang kita cintai, panggilan untuk melayani orang yang kita cintai dengan tulus. Panggilan cinta adalah menghancurkan isolasi kita dan melepaskan keterpusatan ego kita. Cinta yang membuat dunia menjadi rumah yang ramah kita diami. Cinta yang membuat dunia menjadi rumah yang damai kita tinggali. Cinta yang membuat kita mampu berkorban melakukan sesuatu untuk orang yang kita cintai. Panggilan cinta adalah undangan untuk mencintai orang yang terasa spesial di hati kita. Panggilan cinta adalah panggilan yang menyejukkan hati dan menentramkan bathin.
Melihat dialektika cinta dan benci, kita berharap cintalah yang menguasai peradaban dunia ini dan tetap optismis masih ada cinta.(*)
Ridwan Sihombing, 7 Juni 2025